-->

Kaum Milenials Dituntut Rasional Menghadapi Quarter Life Crisis

Krisis seperempat abad ataupun yang terkenal diketahui dengan Quarter Life Crisis( QLC) merupakan sesuatu keadaan krisis diri yang dirasakan oleh seorang ketika tiba rentang umur 20– 30 tahun. Kecemasan timbul terpaut pekerjaan, keadaan keuangan, keluarga, ikatan asmara serta kasus hidup yang lain. Orang yang hadapi QLC umumnya terletak pada keadaan tekanan mental, frustasi, ataupun apalagi merasa terjebak dalam sesuatu keadaan kecemasan yang rumit, terjepit serta tertekan.


Keadaan ini biasanya mencuat akibat terdapatnya paradoks mau memuaskan serta penuhi kemauan hidup tetapi apa yang dirasakan serta dicoba secara nyata terasa tidak pada jalan menuju ke arah tujuan ataupun belum menggapai sasaran yang diidamkan. Liza Marielly Djaprie, seseorang psikolog klinis menarangkan QLC bisa diakibatkan oleh aspek internal serta eksternal. Aspek internal diakibatkan oleh suasana di dalam diri yang belum menciptakan jati diri sesungguhnya dan aspek eksternal berbentuk suasana yang terus menjadi kompetitif dari rekan sebaya dan tuntutan lingkungan masa modern yang serta semakin kompleks.

Dikutip dari Mindbodygreen. com, sebanyak 6 dari 10 milenial dilaporkan hadapi QLC. The Guardian juga melaporkan dalam risetnya kalau 86 persen milenial hadapi QLC yang membuatnya merasa insecure, kecewa, kesepian hingga tekanan mental. Angka ini ialah yang paling tinggi dibanding dengan generasi tadinya semacam Generasi X serta Baby Boomers. Untuk banyak milenial, fase ini jadi momen yang lumayan menyiksa. Seakan dihantui bayang- bayang kekecewaan, kesepian, perasaan kosong serta kecemasan tidak berdasar.

Bagi survei dari LinkedIn, pengalaman krisis ini lebih banyak dirasakan oleh wanita, ialah sebesar 61%. Terdapat bermacam aspek faktor QLC. Sebanyak 57% merasa kesusahan mencari pekerjaan yang cocok dengan passion, 57% hadapi tekanan lantaran belum mempunyai rumah, serta 46% mengaku tertekan akibat belum mempunyai pendamping.

Tuntutan ini terus menjadi lengkap dengan hadirnya istilah‘ Sandwich Generation’ buat generasi milenial yang mempunyai beban finansial dalam mengurus orang tua ataupun anggota keluarga lain sekalian mengurus kebutuhan finansial diri serta keluarga sendiri. Kondisi- kondisi ini pula diprediksi jadi pemicu kenapa milenial susah mempunyai rumah, cepat berpindah kerja serta berperan tanpa berpikir matang dibanding generasi sebelumnya menurut Dr. Gail Saltz, psikiater sekaligus penulis buku“ The Power of Different: The Link Between Disorder and Genius”.

Dr. Oliver Robinson, periset serta pengajar Psikologi dari University of Greenwich, berkata terdapat 4 fase dalam QLC, ialah:

Pertama, perasaan terjebak dalam sesuatu suasana, entah itu pekerjaan, kedekatan ataupun perihal yang lain.

Kedua, mempunyai pemikiran serta harapan kalau perubahan bisa jadi saja terjadi.

Fase berikutnya ialah periode membangun kembali hidup yang baru serta yang terakhir merupakan fase mengukuhkan komitmen anyar terpaut ketertarikan, aspirasi, serta nilai- nilai yang dipegang seorang.

It’ s All About Money

Peralihan cara pandang dari idealis jadi pragmatis pula didorong oleh kenyataan yang menuntut lebih menjejak. Semacam kondisi tidak memiliki uang menjelang lulus kuliah dibanding dengan cerita sahabat sebaya yang telah bergaji 2 digit serta sanggup mencicil rumah ambil andil di dalamnya. Keadaan keluarga juga terkadang membuat generasi milenial masa saat ini merasa butuh untuk menyokong secara finansial.

Tetapi di sisi lain, pengorbanan diri juga jadi pemikiran yang pantas dipertimbangkan. Meminggirkan impian buat berkarier dalam bidang sesuai passion, misalnya. Terkadang meneruskan bekerja di bidang yang disenangi dirasa susah untuk segera menghantarkan pada keadaan mapan. Terlebih bila dirasa kemampuannya masih wajib diasah lebih lanjut bila mau sukses. Pastinya memerlukan uang lebih untuk meningkatkan atensi serta bakat yang disebut passion itu.

Ada kalanya timbul perasaan kehilangan diri sendiri setelah membahas seberapa jauh berbelok arah. Dirundung rasa putus asa berbulan- bulan jadi indikasi nyata kala wajib mengalami cita- cita serta realita.

Bagi Robert MacNaughton, pendiri Integral Center yang menanggulangi pengembangan karakter di Boulder, Colorado, terdapat 2 opsi yang dapat dicoba milenial untuk mengalami QLC. Pertama, membiarkan diri berlarut- larut dalam keputusasaan ataupun yang kedua, menjadikan QLC bagaikan momentum yang pas untuk meroketkan diri ke tingkat kehidupan berikutnya.

Nilai- Nilai Hidup serta Permasalahan Keluarga

Tidak hanya permasalahan uang, idealisme seorang bisa pula terbentur oleh harapan- harapan keluarga. Tidak jarang para milenial beberapa kali berkonflik dengan orang tua lantaran perbedaan cara pandang serta opsi aksi dikala mengalami sesuatu masalah.
Krisis dipicu oleh tegangan kemauan diri dengan kemauan keluarga. Kala generasi milenial aktif ini masih mau mengejar aneka sasaran di luar perkawinan, orang tua kerap menekan supaya lekas membangun rumah tangga.

Aspek perkawinan memanglah jadi perihal yang sering disebutkan sebagai sumber kecemasan orang- orang yang hadapi QLC. Dalam survei yang dicoba Gumtree. com, 86% dari 1. 100 responden di Inggris memberitahukan pernah melalui QLC, serta 32% antara lain berkomentar adanya tekenan besar untuk lekas menikah serta memiliki anak maksimal pada umur 30 tahun.

Terpaut tekanan dari orang tua, dalam riset tentang QLC yang dilansir pada harian Contemporary Family Therapy( 2008) disebutkan kalau terdapat kecenderungan jika capaian anak- anak muda mempengaruhi cara orang tuanya memandang harga diri mereka.

Sedangkan orang tua berharap dapat memastikan kebahagiaan untuk anaknya, sang anak terus mencari capaian demi menyenangkan mereka.

Faktor QLC

Bila ditilik lebih dalam, ada sebagian aspek yang menimbulkan seorang terjerumus dalam krisis selama masa transisi mengarah tahap kedewasaan.

Bila dibanding generasi- generasi terdahulu, milenial serta generasi setelahnya terkategori beruntung sebab bisa mengecap beragam kemudahan ataupun akses yang membuat hidup lebih baik, dari segi kesempatan pekerjaan, pembelajaran, akses kesehatan, keamanan, serta lain sebagainya. Tetapi sayangnya, aneka sarana serta opsi kemungkinan yang ada bisa menimbulkan generasi milenial malah tumbuh stagnan.

Soal pekerjaan, seperti ditulis Forbes, generasi terdahulu boleh jadi memandang tujuan bekerja utamanya adalah buat mendapat uang semata, sedangkan sebagian milenial merasa pekerjaan merupakan suatu yang mesti memenuhi kebutuhan aktualisasinya, harus terait perihal yang disuka ataupun dapat mewujudkan mimpi- impinya.

Cari uang dirasa bagaikan perihal yang jamak, lapangan kerja bermacam- macam ada, namun menemukan pekerjaan cocok idamanlah yang pantas diperjuangkan bagi para generasi milenial.

Perpindahan ekspektasi ini memberi sumbangsih pada ketidakpuasan milenial dalam dunia karier, kekecewaan, kecemasan serta berakhir pada QLC.

Dikala segalanya cenderung mudah didapat, suatu perihal tidak lagi dirasa istimewa, kepuasan seseorang juga terus menjadi sulit terpenuhi, demikian dinyatakan Atwood& Scholtz, penulis riset tentang QLC. Mereka membuat suatu analogi, apabila tiap orang dapat mengenakan jam Rolex serta perihal itu mudah didapat, status serta kesenangan dikala mempunyai Rolex hendak menurun, bahkan tiada.

Aneka opsi yang tersaji pula diiringi tanggung jawab yang wajib diemban. Tidak seluruh orang mampu menerima perihal tersebut, terlebih apabila belum betul- betul matang secara mental, namun segi umur telah dituntut warga untuk bertanggung jawab dalam perihal pekerjaan serta relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri serta ekspektasi sosial inilah yang menyebabkan QLC.

QLC berkisar pada permasalahan bukti diri seseorang, seperti apa nilai- nilai yang dipercaya, dengan apa mengafiliasikan diri, perihal apa saja yang prinsipil di kehidupan. Gimana membentuk diri serta setelah itu menampilkan identitasnya itu tidak lepas dari teknologi yang semakin pesat pekembangannya dikala ini. Karenanya, perihal ini jadi aspek yang juga potensial merangsang QLC.

Kontrol Apa yang Dipikirkan

Di tengah kejengahan mengalami realita, seperti mencari oase yang semurni- murninya. Kerinduan menempuh hidup senyaman genangan air di danau yang tenang, diam serta tidak beriak pasti muncul di angan- angan. Di titik ini, berfokus dalam memegang teguh prinsip kalau kunci dari kehidupan yang senang sentosa merupakan dengan berpikir rasional serta pragmatis mengalami realita.
Butuh dimengerti kalau terdapat sebagian perihal yang terletak dalam kendali kita, sedangkan sebagian yang lain tidak. Sebagian besar ketidakbahagiaan itu diakibatkan oleh pikiran kalau kita bisa mengatur hal- hal yang, sebaliknya pada realitasnya, kita tidak dapat.

Perihal yang sebetulnya dapat dikendalikan sangatlah sedikit. Tidak seluruh yang terjalin pada diri ini bisa dikendalikan termasuk mengatur apa yang dikatakan serta dilakukan orang lain. Apalagi, kita juga tidak dapat seluruhnya mengatur tubuh sendiri yang bisa jadi saja seketika sakit ataupun maut yang tiba- tiba mendatangi tanpa peduli. Salah satunya perihal yang betul- betul dapat muncul dalam genggaman untuk dikendalikan merupakan bagaimana mengelola anggapan diri tentang seluruh perihal yang terjalin.

Bila berpikir kalau sesuatu yang sangat kurang baik sudah berlangsung, maka sangat manusiawi bila perasaan pilu, kecewa ataupun marah hadir melingkupi. Juga jika menebak kalau suatu yang kurang baik bakal terjadi. Ketakutan bisa jadi datang mendatangi. Seluruh emosi ini merupakan produk dari anggapan serta dugaan yang diciptakan diri sendiri.

Sementara itu, seluruh peristiwa tadi sesungguhnya netral belaka. Apa yang bisa jadi nampak seram untuk kita, dapat jadi hanya remeh- temeh untuk orang lain, atau bahkan disambut bak gegap gempita oleh mereka yang lain. Reaksi emosional lah yang menggerus kewarasan kita.

Individu yang baik merupakan mereka yang mempunyai kendali penuh atas emosinya. Individu yang sadar kalau hal- hal yang terjalin tidak ada yang mutlak baik ataupun kurang baik. Ini merupakan soal bagimana memandangnya. Paradoks intinya merupakan kalau kita nyaris tidak mempunyai kendali atas apa juga, tetapi pada dikala yang sama, kita pula berpotensi mengendalikan seluruhnya kebahagiaan diri sendiri.

Melatih Pikiran

Para pemimpin umat semacam Nabi Muhammad SAW, Isa Almasih serta Buddha yang nampak damai semacam tidak memiliki permasalahan justru ialah wujud yang secara utuh mengakui kalau hidup terkadang memanglah jadi sulit.

Mengatur benak diri tidaklah perihal yang dapat dicoba semudah membalikkan telapak tangan, terlebih bila emosi telah mengambil alih setir kemudi. Latihan instan absolut dibutuhkan supaya sanggup mengimplementasikannya secara merata dalam kehidupan. Para pakar psikologi banyak yang merekomendasikan buat mencatat hal- hal apapun yang membuat perasaan jadi kurang baik tiap harinya. Dengan mencatat, merefleksi serta mengevaluasi hingga melaksanakan perbaikan jadi semakin mungkin dicoba pada hari- hari selanjutnya.

Marcus Aurelius, seseorang filsuf masa Romawi, mempunyai strategi lain. Tiap pagi, dia menegaskan diri sendiri jika dia mungkin akan mengalami banyak orang yang marah, stress, tidak tabah, serta tidak tahu berterima kasih sepanjang hari. Dengan metode ini, dia akan cenderung sinis pada siapapun. Tetapi, di sisi lain, dia juga menaruh simpati pada kenyataan kalau tidak ada dari orang- orang tadi yang melaksanakan hal- hal menyebalkan itu dengan terencana. Mereka, seperti kita semua, merupakan korban dari evaluasi galat diri mereka sendiri. Dengan metode ini, Aurelius sukses melindungi benak serta hatinya supaya tidak jadi toxic yang meracuni diri serta kehidupannya.

Menerima Kenyataan

Penting rasanya buat menegaskan diri tentang posisi relativitas diri ini dalam suatu kehidupan. Pemahaman kalau dunia tidak senantiasa berbalik di sekiling kita saja. Aurelius secara tertib melaksanakan meditasi, berkaca tentang luasnya alam semesta serta menelaah posisi waktu yang merentang dari masa kemudian ke masa depan. Dia, secara kontemplatif, menempatkan jangka kehidupan pendeknya ke dalam konteks yang lebih luas. Sehingga, sangat tidak masuk ide jika mengharapkan semesta selalu cocok dengan kehendak kita.

Bila selalu berharap alam semesta membagikan apa pun yang di idamkan, maka jangan bersedih bila selalu menemukan kekecewaan. Tetapi bila sanggup mendekap apapun yang diberikan alam semesta, menerima serta mensyukurinya hingga hidup pasti akan lebih gampang serta senang.

QLC dari Perspektif Lain

Normal rasanya bila memandang QLC bagaikan perihal yang menyebalkan serta mau cepat- cepat dilalui. Tetapi, sesungguhnya, terdapat keuntungan yang dapat didapatkan bila krisis ini muncul dikehidupan.

Atwood& Scholtz dalam makalahnya berargumen kalau perasaan hilang arah ataupun rasanya tidak mempunyai tujuan hidup bisa jadi titik dini seorang buat melaksanakan pencarian jati diri yang murni dan sebenar- benarnya. Sehabis melaksanakan penilaian dari suasana yang ada, memastikan dengan jujur apa yang sesungguhnya dicari serta apa yang sesunggunya mampu membawa membahagiakan, bisa jadi batu loncatan yang merubah hidup jauh lebih baik serta membahagiakan sekalipun perihal itu berbeda dengan keinginan orang- orang terdekat.

Senada dengan Atwood& Scholtz, Caroline Beaton dalam tulisannya yang berjudul“ Why Millenials Need Quarter Life Crisis” di Psychology Today melaporkan kalau QLC bisa jadi pengingat untuk seorang buat terus berjuang maju dalam hidupnya. QLC merupakan tentang ketidakpastian, serta dari sana pula, seorang bisa menangkap kalau tidak terdapat perihal yang permanen di dunia ini, tercantum krisis yang dirasakan diri sendiri.

Terkadang, QLC membuat orang mau terus berlari ataupun melawan. Tetapi, semakin jauh ataupun cepat orang berlari menjauh dari krisis tersebut, akan membuat hasilnya terus menjadi nihil. Alternatif aksi yang bisa dicoba ialah berupaya menerima hidup pada saat ini meski belum betul- betul cocok kehendak diri.

Alih- alih pusing menyatukan frekuensi dengan seluruh tuntutan yang ada, memahat anggapan atas hal- hal yang terjalin terpaut diri kita serta gimana menyikapinya jadi perihal yang lebih berguna serta rasional buat dicoba demi hidup yang lebih bahagia. Memanglah betul kalau soal ini tidak bisa jadi gampang dicoba. Namun, bila terus melatih diri dengan anggapan serta benak positif hingga mengalami QLC bisa jadi momentum pijakan yang pas buat mengganti arah hidup jadi lebih baik. Sebab QLC merupakan suatu keniscayaan yang mungkin besar wajib dialami generasi milenial, kesiapan diri dengan gimana metode menghadapinya merupakan perihal yang terutama dari semuanya. 
LihatTutupKomentar